Liburan kali ini cukup menarik. Tidak saja karena saya untuk pertama kalinya ditilang polisi (dengan bujuk-rayu-tipu keluar 30 ribu rupiah, sial), main di Atlantis Ancol (dan berenang gaya batu disana), atau nonton “Chika” di tengah malam sambil mengutuk setiap orang yang terlibat di film ini karena kesampahannya (kita simpan ini untuk postingan lain kali ya). Tetapi juga karena saya bisa mengisi waktu saya dengan melakukan hobi nomor satu saya: Membaca.
Syahdan, terdapat tiga buku yang merupakan target bacaan saya selama liburan: Traveler’s Tale, Maya: Misteri Dunia dan Cinta (pengarangnya, Jostein Gardner, adalah penulis Dunia Sophie yang keren itu), dan Bilangan Fu.
Dua buku saya baca sampai habis yaitu Bilangan Fu dan Traveler’s Tale. Sedangkan Maya masih saya baca sampai sekarang karena muatan filosofisnya yang cukup berat. Juga karena isinya yang berplot sangat lambat. Bosen…
Mengenai dua buku yang lain akan saya bahas lain kali. Postingan kali ini saya dedikasikan untuk Bilangan Fu karangan Ayu Utami. Sebuah karya fenomenal yang berharga cukup mahal (Rp. 51 ribu di Togamas) dan tebal (547 halaman).
Awal membaca buku ini saya merasa ada pola yang mirip dengan Saman dan Larung, dua buku fenomenal dan “kritis” karangan Ayu Utami yang lain. Kritik terhadap perubahan jaman, sebuah hujatan terhadap birokrat-birokrat politik, dan sebuah pencerahan terhadap abad spiritual new age. A little bit obvious isn’t it? This is Ayu Utami after all….
Tetapi tidak…. bagi beberapa orang, Bilangan Fu mengalami dekadensi bila dibandingkan dua saudaranya itu. Kehilangan kemilaunya bila memakai istilah Kaca. Saya pribadi berpendapat kalo buku ini seperti spiritual kritis yang ngepop. Berusaha memberikan pencerahan (pluralisme? hmmm) dengan menggunakan bahasa yang membumi, kalo tidak mau dibilang populer. Membaca backcovernya juga bisa membuat orang salah paham. Seakan-akan buku ini membahas cinta segitiga yang klise antara Yuda si “iblis” , Parang Jati si “malaikat”, dan Marja si “manusia”. Terdengar sangat pop… Begitu mirip dengan chiclit ato serial drama romantis bila tidak melihat nama penulis dan kovernya yang aneh…. Mungkin memang disengaja karena editornya ingin buku ini meraih segmen pasar yang lebih luas.
Secara isi, buku ini sangat menarik. Buku ini bisa dibilang memilki inti terhadap sebuah kritik… Kritik terhadap tiga hal yang sering kita hadapi dalam sehari-hari namun luput dari pandangan kita. Modernisme, monoteisme, dan militerisme. Khusus buat dua yang pertama bisa dibilang sesuatu yang menarik. Jarang ada penulis yang bisa membaca masalah jaman seperti ini dan mengemasnya dalam bahasa yang sangat indah. Bahasa yang sangat kental suasana Jawa dan Indonesianya… Begitu penuh dengan istilah perwayangan, legenda-legenda, dan sejarah nusantara…
Sedangkan mengenai militerisme saya merasa tidak begitu relevan lagi terhadap kondisi jaman sekarang. Secara, militer udah balik ke barak sekarang. Meski masih banyak operasi intelejen yang misterius terjadi.
Mengenai kesimpulan dari buku ini saya merasa buku ini memang berusaha membawa isu pluralisme (terlihat dari chapter “kritik atas modernisme” dan “kritik hu atas monoteisme”). Tetapi diluar dari perdebatan mengenai hal itu (saya berdebat dengan teman saya, Adhit, si pejuang anti pengkafiran di Surabaya, mengenai baik buruknya pluralisme) bisa dibilang buku ini membawa isu yang sensitif menuju level pencerahan yang pantas untuk dibicarakan oleh orang-orang yang peduli akan kondisi jaman.
Pertama, si Ayu Utami membawa masalah takhayul sebagai momok dan bahan joke bagi masyarakat modern. Kemudian dia memberitakan mengenai sudut pandang post-modernisme yang mengajarkan kepada kita bahwa takhayul itu tidak buruk. Melainkan hanya sudut pandang terhadap jaman, dimana proses penyelamatan alam merupakan tujuan dari takhayul. Bila anda pernah membaca virus akal budi nya Richard Brodie atau pernah belajat tentang meme sebelumnya pasti bisa menangkap pesan ini dengan lebih baik.
Selanjutnya Ayu Utami membawa pesan tentang adanya agama bumi dan agama langit. Dia berusaha menunjukkan bahwa setiap agama memilki tujuan masing-masing (sekali lagi, ini meme yang kuat). Dan setiap orang berhak untuk menjalankan setiap agama yang dipercayainya dengan caranya masing-masing. Begitu keras kritik tentang meme ini (yang sayangnya digambarkan dalam bentuk islam fundamental kupukupu alias farisi) sehingga saya tidak menyarankan anda baca dulu sebelum anda bisa open mind terhadap semua perbedaan.
Terakhir dia membawa isu militerisme ke dalam buku ini. Mengenai pasukan ninja yang cukup aneh dan terjadi pada saat gejolak politik dimana Gusdur menghadang Megawati di pemilu 1999. Selanjutnya membahas mengenai pembunuhan terhadap dukun santet dari jawa timur ke jawa tengah. Kesemua cerita itu dihiasi dengan legenda-legenda dan mitos-mitos tanah air, seperti sangkuriang dan batara durga. Sangat menarik dan kaya akan unsur budaya tanah air.
Sayangnya endingnya cukup klise bagi saya. Salah satu tokohnya meninggal, sebagaimana martir-martir lain meninggal dunia. Dia hanya meninggalkan sahabatnya si Yuda dan Marja tanpa mengetahui ujung keberhasilan dari rencananya menyelamatkan daerah watugunung dari perusakan lingkungan. Yap, si parang jati yang konon merupakan anak geologi ITB itu mati di tangan gerombolan misterius. Hehehe, jadi kepikiran apa ada anak ITB seperti si Parang Jati? Begitu idealis dan terencana tapi juga bisa melakukan action dengan baik…. tidak banyak debat dan diskusi (seperti sekarang) melainkan melakukan saja apa yang ingin dia lakukan. Seperti Iklan Nike, Just do it.
My last verdict? Ini merupakan buku yang kritis terhadap perubahan jaman. Bahkan bisa membuka mata anda kalo anda siap untuk menerimanya. tujuan akhir buku ini mungkin bisa terbayang dari kovernya yang ramah lingkungan: menyelamatkan lingkungan hidup dengan cara sangat puitis dan sastrawi. Sayangnya telalu simpel kalo cuma dalam satu buku aja. Mungkin lebih baik dijadikan tiga buku untuk merangkum meme pikiran si Ayu Utami ini. Tapi kalo cuma buat bacaan pas libur lebaran yang membosenin cukup bagus lah 😛
My score? 7.0/10
Not Bad…. Cukup menarik bila anda suka baca tentang yang “ringan-ringan”. Saya merekomendasikan buku ini untuk anda yang mencari pencerahan setelah letih dan bosan akan kehidupan generasi pop, Pencinta lingkungan hidup yang mencari metode untuk melestarikan lingkungan via adat budaya di daerahnya, juga untuk anda yang mencari kilas balik pristiwa akan pergolakan politik dan budaya jaman pasca reformasi. Recommended…!
Our Commentator